PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Di jaman yang penuh dengan persaingan
ini makna Pancasila seolah-olah terlupakan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Padahal sejarah perumusannya melalui proses yang sangat panjang oleh para
pendiri negara ini. Pengorbanan tersebut akan sia-sia apabila kita tidak
menjalankan amanat para pendiri negara yaitu pancasila yang termaktub dalam
pembukaan UUD 1945 alenia ke-4.
Pancasila merupakan rangkaian kesatuan
dan kebulatan yang tidak terpisahkan karena setiap sila dalam pancasila
mengandung empat sila lainnya dan kedudukan dari masing-masing sila tersebut
tidak dapat ditukar tempatnya atau dipindah-pindahkan. Hal ini sesuai dengan
susunan sila yang bersifat sistematis-hierarkis, yang berarti bahwa kelima sila
pancasila itu menunjukkan suatu rangkaian urutan-urutan yang
bertingkat-tingkat, dimana tiap-tiap sila mempunyai tempatnya sendiri di dalam
rangkaian susunan kesatuan itu sehingga tidak dapat dipindahkan.
Bagi bangsa Indonesia hakikat yang
sesungguhnya dari pancasila adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai
dasar negara. Kedua pengertian tersebut sudah selayaknya kita fahami akan
hakikatnya. Selain dari pengertian tersebut, pancasila memiliki beberapa
sebutan berbeda, seperti : Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.
Walaupun begitu, banyaknya sebutan
untuk Pancasila bukanlah merupakan suatu kesalahan atau pelanggaran melainkan
dapat dijadikan sebagai suatu kekayaan akan makna dari Pancasila bagi bangsa
Indonesia. Karena hal yang terpenting adalah perbedaan penyebutan itu tidak
mengaburkan hakikat pancasila yang sesungguhnya yaitu sebagai dasar negara.
Tetapi pengertian pancasila tidak dapat ditafsirkan oleh sembarang orang karena
akan dapat mengaturkan maknanya dan pada akhirnya merongrong dasar negara,
seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Untuk itu, kita sebagai generasi
penerus, sudah merupakan kewajiban bersama untuk senantiasa menjaga kelestarian
nilai nilai pancasila sehingga apa yang terjadi di masa lalu tidak akan teredam
di masa yang akan datang.
2. TUJUAN
PAMBAHASAN
a)
Untuk mengetahui Hakikat Pancasila
Sebagai Dasar Nilai pengembangan ilmu
b)
Untuk mengetahui Landasan Pengembangan
Ilmu Pengetahuan
c)
Untuk mengetahui Peran nilai sila sila
dalam Pancasila dalam pengembangan ilmu
3. MANFAAT
a)
Mahasiswa mengetahui Hakikat Pancasila
Sebagai Dasar Nilai pengembangan ilmu
b)
Mahasiswa mengetahui Landasan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan
c)
Mahasiswa mengetahui Peran nilai sila
sila Pancasila dalam pengembangan ilmu
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Hakikat Pancasila Sebagai
Dasar Nilai pengembangan ilmu?
2. Bagaimana Landasan Pengembangan
Ilmu Pengetahuan?
3. Bagaimana Peran nilai sila sila
dalam Pancasila dalam pengembangan ilmu?
BAB III
PEMBAHASAN
Latar Belakang
Melalui teori relativitas Einstein
paradigma kebenaran ilmu sekarang sudah berubah dari paradigma lama yang dibangun
oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun teori absolut dalam kebenaran
ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi, bahkan ilmu
tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka objektif,
rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya
ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Itulah
sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif pengembangannya melalui
kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologis, epistemologis,
maupun ontologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling tidak validitas
(validity) dan reliabilitas (reliability) dapat
dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context
of justification) maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu
itu ditemukan/dikembangkan (context of discovery).
Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah
pilar pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar
tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga,
penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite/saling mempersyaratkan.
Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan
aksiologi.
1. Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).
a)
Aspek kuantitas : Apakah
yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme, pluralisme )
b)
Aspek kualitas (mutu,
sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme, teleologisme,
vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan
asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner
dan multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan
kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat
hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada
kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan
ilmu lain seperti politik, sosiologi.
2. Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan, sumber
kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana,
dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis
dapat memberikan sumbangan bagi kita :
a)
sarana legitimasi bagi
ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu
b)
memberi kerangka acuan
metodologis pengembangan ilmu
c)
mengembangkan
ketrampilan proses
d)
mengembangkan daya
kreatif dan inovatif.
3. Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis,
moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman
aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan
etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009).
Landasan pengembangan ilmu secara imperative mengacu ketiga pilar filosofis
keilmuan tersebut yang bersifat integratif dan prerequisite.
Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
1. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah
a)
Objektif: Cara memandang
masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif (misal : perasaan,
keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
b)
Rasional: Menggunakan
akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan
unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
c)
Logis: Berfikir dengan
menggunakan azas logika/runtut/konsisten, implikatif. Tidak mengandung unsur
pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu
sebaliknya yang rasional pasti logis.
d)
Metodologis: Selalu
menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan
bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
e)
Sistematis: Setiap cara
berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dan saling
terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.
2. Masalah nilai dalam IPTEK
a.
Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar
yang dihadapi manusia dewasa ini adalah keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu
pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak bisa mengatakan inilah satu-satunya
ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi problem manusia dewasa ini. Berbeda
dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih menunjukkan keekaannya daripada kebhinekaannya.
Seperti pada awal perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.
Proses perkembangan ini menarik
perhatian karena justru bertentangan dengan inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri,
yaitu keinginan manusia untuk mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan
gejala-gejala di dunia kita ini. Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah
ilmu pengetahuan. Secara metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas
sebagai dasar untuk memahami hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan
yang lain sehingga bisa ditentukan adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya.
Namun dalam perkembangannya ilmu pengetahuan berkembang ke arah keserbamajemukan ilmu.
a) Mengapa timbul spesialisasi?
Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu
kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu
dalam perjalanannya selalu mengembangkan macam metode, objek dan tujuan. Perbedaan
metode dan pengembangannya itu perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu. Tidak
mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau
psikologi mau maju dan berkembang harus mengembangkan metode, objek dan
tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia umum
keduanya memakai ”hukum” yang dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana
biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya organisme organisme yang tidak dituntut
oleh seorang ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju dan mendalam,
meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai dasar-dasar yang sama.
Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu,
namun kesatuan dasar azas-azas universal harus diingat dalam rangka spesialisasi.
Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri dan masyarakat.
Ada kalanya ilmu itu diterapkan dapat memberi manfaat bagi manusia, tetapi bisa
sebaliknya merugikan manusia. Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga
dapat meringankan beban manusia untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan
hidup manusia. Seseorang tidak mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan memahami
semua ilmu pengetahuan yang ada (Sutardjo,1982).
b) Persoalan yang timbul dalam spesialisasi
Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat
menimbulkan segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif
dalam melakukan kajian dan pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari
ilmu spesialis merasa terasing dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja
fokus dan intensif membawa dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai
ilmu lain. Seorang spesialis bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya
dari rumpun keilmuannya atau bahkan dari peta ilmu, kemudian menganggap ilmunya
otonom dan paling lengkap. Para spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga
tidak tahu lagi dari mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi
manusia dan ilmu-ilmu lainnya, dan sumbangan apa yang perlu diperoleh dari
ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu spesialis yang dipelajari
atau dikuasai.
Bila keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai
ilmu pengetahuan tidak sangat berbahaya. Namun bila hal itu terjadi pada
manusianya, maka akibatnya bisa mengerikan kalau manusia sampai terasing dari
sesamanya dan bahkan dari dirinya karena terbelenggu oleh ilmunya yang sempit.
Dalam praktik praktik ilmu spesialis kurang memberikan orientasi yang luas
terhadap kenyataan dunia ini, apakah dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan,
ekologi dll.
Persoalan tersebut bukan berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan
merelativisir jika ada kerjasama ilmu ilmu pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya.
Hal ini tidak akan mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi
akan memudahkan penempatan tiap tiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan
manusia. Keharusan kerjasama ilmu sesuai dengan sifat social manusia dan segala
kegiatannya. Kerjasama seperti itu akan membuat para ilmuwan memiliki cakrawala
pandang yang luas dalam menganalisis dan melihat sesuatu. Banyak segi akan
dipikirkan sebelum mengambil keputusan akhir apalagi bila keputusan itu
menyangkut manusia sendiri.
b.
Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan
Tema ini membawa kita ke arah pemikiran:
(a) apakah ada kaitan antara
moral atau etika dengan ilmu pengetahuan,
(b) saat mana dalam pengembangan
ilmu memerlukan pertimbangan moral/etik?
Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu
dan wujudnya yang paling nyata pada jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan
yang muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu
pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa menyapa”
dengan etika? Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan moral? Untuk
menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh. Pertama,
kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
kaitannya dengan manusia. Kedua,membicarakan dimensi etis serta kriteria etis
yang diambil. Ketiga, berusaha menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam
usulan jalan keluar dari permasalahan yang muncul.
a) Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kalau perkembangan ilmu pengetahuan sungguhsungguh menepati
janji awalnya 200 tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu
mempermasalahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar
merupakan sarana pembebasan manusia dari keterbelakangan yang dialami sekitar
1800-1900an dengan menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan
manusia dapat mencari nafkah sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka
pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan
ilmu pengetahuan itu sendiri (secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam
seperti pada abad ini. Namun dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu
pengetahuan itu menghadapi masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia.
Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem
mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh kerangka
pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri. Kompleksitas permasalahan
dalam pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran serius, terutama
persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibatakibatnyabagi manusia.
Mengapa orang kemudian berbicara soal etika dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi?
b) Akibat teknologi pada perilaku manusia
Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen
penerapan kontrol tingkah laku (behavior control). Behaviour control merupakan
kemampuan untuk mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh
si pengatur (the ability to get some one to do one’s bidding).
Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini
mengakibatkan munculnya masalah masalah etis seperti berikut.
·
Penemuan teknologi yang
mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan perilaku seseorang diubah dengan
operasi dan manipulasi syaraf otak melalui ”psychosurgery’s infuse”
kimiawi, obat bius tertentu. Electrical stimulation mampu merangsang
secara baru bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bias diatur dan disusun.
Kalau begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang
kemusnahan.
·
Makin dipacunya
penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan manusia, memungkinkan adanya
lubang manipulasi, entah melalui iklan atau media lain.
·
Pemahaman “njlimet”
tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk menghirup kebutuhan
baru sehingga bisa mendapat untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media
(radio, TV) untuk mengatur kelakuan manusia.
·
Behaviour control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang dikontrol oleh
teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik muncul justru karena si
pengatur memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol
dan diarahkan menurut kehendak si pengontrol.
·
Akibat teknologi pada
eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher. Bagi Schumacher eksistensi
sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia justru karena ia bekerja.
Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial manusia,
ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan
manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak
mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti
dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T.
Yacob, 1993).
c.
Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
Ada empat hal pokok agar ilmu
pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara konkrit, unsur-unsur mana yang
tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.
·
Rumusan hak azasi
merupakan sarana hukum untuk menjamin penghormatan terhadap manusia. Individu individu
perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan.
·
Keadilan dalam bidang
sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak. Perkembangan teknologi
sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik. Jika kita
ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia mendesentralisasikan
monopoli pengambilan keputusan dalam bidang politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan
harus memberi pada setiap individu kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya.
·
Soal lingkungan hidup.
Tidak ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi sumber-sumber alam dan manusiawi
tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada seluruh masyarakat. Ekologi mengajar
kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan benda yang lain di
alam ini.
·
Nilai manusia sebagai
pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia dinilai dari tempatnya
sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor tertentu. Akibatnya
manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau
hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai
pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup
sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan teknologi mau
manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh
mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi (T.
Yacob, 1993).
Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
1. Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan
ilmu pengetahuan dan Teknologi
Karena pengembangan ilmu dan
teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan manusia maka perlu mempertimbangan
strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik dan benar agar pengembangan
ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan memartabatkan manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah
strategi secara imperatif kita meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian dasar nilai
menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu. Dalam
konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai
upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau ”an
unfinished journey”. Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai masyarakat, proses
dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau analisis/metode
berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif
dalam mengembangkan ilmu adalah sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan.
Untuk itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis,
maka diperlukan suatu situasi kondusif baik struktural maupun kultural.
2. Strategi Pengembangan IPTEK Pancasila Sebagai Dasar Nilai
Peran
nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.
1.
Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan antara yang rasional
dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam alam
sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
2.
Sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu
dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk
kelompok, lapisan tertentu.
3.
Sila Persatuan Indonesia:
mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem
tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem sangat
penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu
integrasi.
4.
Sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi
otodinamika ilmu pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa.
Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat
dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai
penerapan massal.
5.
Sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan
distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga
menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena kepentingan
individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan
yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.
Pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya
Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan kesatuan dari
perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran Pancasila
sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme
kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak diri seseorang
pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata berpegang pada
kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya
yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi:
1.
pengembangan
iptek diarahkan untuk mencapai kebahagian lahir batin, memenuhi kebutuhan
material dan spiritual
2.
pengembangan
iptek mempertimbangkan aspek estetik dan moral
3.
pengembangan
iptek pada hakekatnya tidak boleh bebas nilai tetapi terikat pada nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat
4.
pembangunan
iptek mempertimbangkan akal, rasa dan kehendak
5.
pembangunan
iptek bukan untuk kesombongan melainkan untuk peningkatan kualitas manusia,
peningkatan harkat dan martabat manusia
5 komentar
Click here for komentarkesimpulan dan sarannya mana
ReplyBuat sendirilah, enak kali kau mau dikasih semuanya
ReplyTEST
ReplyTEST
Replythank you for making this best paper! :)
ReplyTolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. ConversionConversion EmoticonEmoticon